Posted in Contemplation

LDR : Jarak Itu Mengeratkan

Yang, terima kasih banyak sudah pulang, ke rumah, dimana pun ada aku.

Ini adalah LDM kita yang pertama, dua minggu pertama yang berat.  Di mana di akhir minggu kedua saya bilang, “I think we need to make a video call, Yang. Di sini berasa jomblo, kaya lagi ga punya suami.” Yup, seminggu pertama di Puskesmas yang bahagia membuat saya membutuhkan dosis komunikasi yang lebih intens dengan suami. Alhamdulillah suami orangnya sangat terbuka, Ia tidak marah dan justru merespon keluhan pasangannya. 

Akhirnya Ia menelepon saya karena sedang tidak ada signal wifii saat itu, 30 menit ngalor ngidul membuat saya sangat bahagia. Saya bilang, “Sekarang jadi ngerasa punya pacar.” Pacar LDR. It was better than I felt like a jomblowati.  Hehehe.  Rizki anak sholeh, tiba-tiba saya mendapat berita gembira, suami dapat libur dua hari. Ia bisa mengunjungi saya di Indramayu.

Bertemu suami di sini memberikan perasaan dan sensasi yang berbeda. Jauh dari rumah ditambah LDR dengan suami memberikan definisi baru bagi “rumah”. Rumah adalah tempat saya bisa berkomunikasi dengan suami, atau rumah adalah di mana ada saya, atau rumah adalah tempat di mana ada suami.

Ia datang dengan Beard’s Papa, yang sudah lama saya idamkan. Ketika saya pulang Ia sedang tidur karena kelelahan di perjalanan, dengan wanginya yang sama, wangi yang selalu saya suka.

Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan, hanya makan, belanja ke supermarket, jalan-jalan naik becak, dan menjalani ritual: lenjeh-lenjeh setelah bangun pagi. Tapi Ia membuat saya sangat bahagia.  Karena Ia mau makan sandwich yang saya buat, karena Ia memakai apapun pakaian yanb saya pilihkan.

Saat harus berpamitan, berat rasanya. Baru saja bertemu dua hari sudah harus berpisah.  Saya berusaha untuk menahan air mata.  Saat Ia mencium kening saya di kamar sebelum keluar, saya menutup mata sekuatnya. Saat Ia mencium kening ketika ritual setelah sun tangan, lagi-lagi saya menutup mata agar tidak menangis.  Tibalah ketika suami dibawa mamang ojek menuju stasiun.

Saya segera masuk kamar, mengunci pintu, lalu melemparkan diri ke tempat tidur. Saya menangis sekuat-kuatnya sambil memeluk bantal. Saya merasa bersalah karena saat Ia datang belum banyak yang bisa saya berikan.  Belum banyak yang bisa dilakukan bersama. Sangat berat harus berpisah padahal baru saja bertemu.  Tapi kebaikan suami saya mengingatkan saya agar bisa lebih banyak bersyukur, lebih banyak mendoakannya, mendoakan kami.

Dicintai oleh suami dengan sangat istimewa memotivasi saya agar bisa menjadi istri yang lebih baik dan menjadi manusia yang lebih produktif. Terima kasih banyak Yang,  sudah pulang.

LDR mengajarkan kita bahwa jarak adalah komponen yang membuat ruang rindu, yang justru mengeratkan kita. 

Thank you for the films, for all the little things you did for me, for our silly conversation. I miss you, Yang.  I love you. Till we meet again, dear my handsome husband.  ❤

Leave a comment